Acehvoice.com | Banda Aceh - Seperti halnya masyarakat
Tionghoa lain, warga keturunan Tionghoa di Banda Aceh juga merayakan Tahun Baru
Imlek.
Yang menimbulkan pertanyaan dari mereka yang berada di luar
Aceh adalah bagaimana perayaan Imlek dirayakan di provinsi yang menerapkan
hukum pidana Islam.
Kusmeity, yang tinggal di Banda Aceh, mengatakan dia sering
mendapatkan pertanyaan dari rekan yang tinggal di luar provinsi itu.
"Teman-teman bertanya apakah di Banda Aceh saya
baik-baik saja. Mereka tanya apakah saya diwajibkan pakai jilbab. Saya bilang
biasa-biasa saja. Cuma kan orang bisa punya persepsi lain. Mereka kira saya
harus pakai jilbab juga," kata Kusmeity.
"Mereka juga sempat takut datang ke Aceh. Pernah itu,
ada sebagian kawan yang khawatir. Mereka pikir Aceh gimana gitu. Tapi begitu
datang, lihat sendiri situasinya, ya tak masalah. Mereka bisa melihat sendiri
bahwa situasinya tak seseram yang mereka kira," kata Kusmeity.
Peraturan tentang pidana Islam mulai dikeluarkan di Aceh
pada awal tahun 2000-an, namun sebagian besar bersifat simbolis.
Peraturan berbasis hukum Islam mulai diterapkan pada Oktober
2015.
Kusmeity menuturkan Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan
antara lain dengan makan bersama pada malam tahun baru dan dilanjutkan dengan
bersembahyang ke vihara.
Ada juga yang merayakannya dengan beribadah ke gereja bagi
warga Tionghoa yang memeluk Kristen, seperti yang dilakukan Kusmeity.
Setelah itu, dilanjutkan dengan kunjungan ke rumah saudara.
Masuk Islam, Imlek tak lagi dirayakan
Tapi, ada juga yang tidak merayakan Tahun Baru Imlek lagi,
seperti dituturkan warga Tionghoa bernama Teugku Rasyid.
Ia mengatakan demi menjaga akidah, ia secara sadar tak
merayakan Tahun Baru Imlek.
"Kalau saya ke vihara, nanti orang mengatakan saya
kembali ke agama saya yang dulu. Saya tak mau meninggalkan Islam apa pun
keadaannya. Tak ada orang lain yang bisa mempengaruhi saya untuk kembali ke
agama saya yang dulu," kata Teungku Rasyid.
Pengusaha bengkel ini mengatakan di luar urusan merayakan
Tahun Baru Imlek, hubungan sosial dengan komunitas Tionghoa dan
komunitas-komunitas lain berjalan baik.
"Saya berhubungan baik dengan semua kalangan ... tapi
kalau misalnya ada acara gotong royong di kelenteng atau gereja, saya tak
mungkin hadir. Saya tak mau orang mengira saya kembali ke agama saya
semula," ujar Teungku Rasyid.
"Di luar itu tak masalah. Ada orang meninggal, saya
hadir, saya hormati. Tak masalah. Ada yang terkena musibah, saya bantu,"
kata Teungku Rasyid.
"Karena itu, ada yang menganggap saya ini seorang
pengkhianat," kata Teungku Rasyid yang memimpin perkumpulan mualaf Aceh
yang beranggotakan sekitar 200 orang.
'Bisnis tak terganggu penerapan syariat Islam'
Para ahli sejarah mengatakan etnis Tionghoa masuk ke Banda
Aceh sejak abad ke-17. Awalnya mereka berdagang secara musiman, namun lambat laut
menetap.
Banyak dari warga Tionghoa yang saat ini berada di Banda
Aceh, lahir dan besar di kota ini.
Penulis buku "Etnis China di Aceh" dan pengajar di
Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh, Abdul Rani Usman, mengatakan relatif
tidak ada masalah dalam relasi sosial antara warga Tionghoa dan komunitas lain
di Aceh.
"Relasi soal antara Aceh dan etnis Tionghoa sudah
berlangsung selama ratusan tahun. Dan selama kurun waktu ini relatif tidak ada
persoalan yang signifikan karena keduanya memegang prinsip saling menghormati
dan saling menghargai akar budaya masing-masing," kata Abdul Rani Usman.
Rani mengatakan tidak ada dampak negatif penarapan hukum
pidana Islam terhadap komunitas Tionghoa di Aceh.
"Komunitas Tionghoa tetap bisa menjalankan kehidupan
sehari-hari secara normal. Bisnis mereka tidak terganggu, pendidikan mereka
tidak terganggu, ibadah mereka tidak terganggu," katanya.
Corak Islam yang kental di Aceh sedikit banyak berpengaruh
terhadap perayaan Tahun baru Imlek.
Kho Khie Siong, salah satu pemuka masyarakat Tionghoa di
Banda Aceh, menceritakan pemain barongsai -atraksi yang sering dimainkan untuk
merayakan Tahun baru Imlek- tidak hanya berasal dari warga Tionghoa, tapi juga
dari komunitas Muslim.
"Kami punya tim barongsai yang melakukan road show,
berkeliling kota berkunjung ke rumah-rumah warga Tionghoa di Banda Aceh. Pemain
barongsai kami tidak hanya berasal dari komunitas Tionghoa, tapi juga dari
komunitas Muslim," kata Kho Khie Siong.
Atraksi ini sudah diperlombakan di Pekan Olahraga Nasional
(PON) yang membuka kemungkinan warga non-Tionghoa untuk menjadi pemain atau
atlet barongsai.
"Kami merekrut pemain atau atlet dari segala
suku," katanya. "Siapa pun yang ingin menjadi pemain atau atlet
(barongsai) kami rangkul."
Selain itu, kata Kho Khie Siong, perayaan tahun baru Imlek
juga menampilkan tari khas Aceh, Tari Seudati.
"Jadi, di bagian awal atraksi barongsai, kami tampilkan
Tari Seudati. Kami buat ini menjadi seni baru, yang melibatkan dua budaya yang
berbeda," kata Kho Khie Siong.
Ketua satu yayasan sosial di Banda Aceh menjelaskan atraksi
barongsai adalah salah satu cara untuk mempertahankan tradisi.
Bagi warga Tionghoa di Banda Aceh seperti Kusmeity,
mempertahankan tradisi antara lain dilakukan dengan mengajak anak-anak untuk
berkunjung ke rumah-rumah saudara, meski kadang ada perasaan kurang enak.
"Kita bawa anak-anak ke rumah saudara, kan diberi
angpao, nah kita merasa tak enak. Takut ada anggapan, kami berkunjung demi
angpao. Tapi di sisi lain, demi menjaga tradisi, kami harus berkunjung ke rumah
saudara," kata Kusmeity.
"Jadi, ya kadang merasa tak enak, tapi ya kami harus
tetap melaksanakannya," kata Kusmeity. []
Sumber: bbc.com